Selasa, 14 Agustus 2018

Setara dari Perspektif Mereka ~ Essay Terbaik Maba PKh ke-2

Setara dari Perspektif Mereka 
Oleh : Ichlas Nurpaidah (PKh 2018)

Banyak orang memperjuangkan kesetaraan kaumnya, banyak kaum yang memperjuangkan haknya, lantas mereka mendapatkannya. Mereka mendapat pemenuhan hak yang mereka perjuangkan pada akhirnya. Tapi tulisan ini dibawa dari mereka, teman-teman difabel (different ability), yang jauh dari orang-orang yang mengamini kesetaraan. Kesetaraan yang mereka harapkan bukanlah persamaan, lantas apa yang mereka inginkan dari diksi setara, sedang kemampuan ‘kita’ dan ‘mereka’ jelas berbeda? 

Setiap dari kita pastilah pernah berada pada tempat yang sama dengan mereka para penyandang difabel. Jika satu di antara pembaca berkata tidak, maka benarkah? Mereka yang kebetulan tidak ada pada suatu waktu di keseharian kita, atau jangan-jangan kita yang tidak menganngap keberadaan mereka? Kebanyakan dari kita berspekulasi bahwa para difabel selalu memerlukan pertolongan, bantuan kita, dan perlu dikasihani. Dampaknya nanti, kita cenderung menghindari para difabel dengan kekhawatiran nantinya mendapat celaan, atau ikut dibuat kesusahan. Hal ini jelas keliru, karena sebenarnya mereka sama seperti kita. 

Contoh sederhananya saja seorang tunanetra mampu berjalan seperti kita, mungkin tidak dengan mata, tapi dengan kemampuan mengenali ruang dengan bantuan tongkat mereka. Seorang tunanetra mampu membaca, mungkin bukan dengan mata, tapi dengan jari - jari mereka. Seorang tunawicara atau tunarungu juga mampu berbahasa, mungkin bukan melalui suara tapi melalui gerak tubuh mereka. Atau seorang tunadaksa misalnya, kita pikir mereka tidak bisa berolahraga? mereka berolahraga seperti kita, tapi mereka memiliki kebutuhan khusus dibandingkan kita, mereka berolahraga beserta alat bantu geraknya, misalnya saja sebuah roda. Adakah ketidakmampuan (disability; nantinya diserap ke dalam bahasa indonesia menjadi disabilitas) di antara perbandingan tadi? Ternyata tidak, kita sama - sama melakukannya, namun dengan cara yang berbeda. Sehingga mereda dituntut untuk memiliki kemampuan yang berbeda pula (different ability [difabel]). Bedanya, kita bisa dengan mudah melakukan berbagai aktifitas, tapi mereka membutuhkan kemampuan khusus, fasilitas dan cara khusus untuk melakukan aktivitasnya. Cara yang berbeda inilah sumber dari hilangnya hak dan kesetaraan antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Sumber dari perbedaan dan diskriminasi. 

Kesetaraan seolah enggan diperjuangkan untuk mereka para difabel, karena mereka minoritas, dianggap tidak mandiri, senantiasa membutuhkan bantuan orang lain, dan memerlukan usaha ekstra untuk menjadikan kemampuan kita dengan mereka sama. Bukankah sudah menjadi keharusan bagi kita, yang diberi kemudahan dalam menjalankan kehidupan, untuk membantu dan memfasilitasi mereka yang harus berusaha lebih untuk menjalani kehidupannya? Padahal hanya itu definisi setara bagi mereka, dengan hanya diberikan pelayanan dan fasilitas terbaik dari lingkungannya. Seperti yang dikatakan Febrian Dwi Putra mahasiswa PLB 2017, Universitas Negeri Jakarta, dalam kesempatan wawancara.

“Kaka pengen anak-anak difabel disamakan, dalam artian pelayanan untuk kami 
yang disabilitas ada, jadi setara bagi Kaka pribadi, berikan pelayanan, dan fasilitas 
yang terbaik buat anak-anak disabilitas, karena itu yang kami perlukan.” 

Bukankah di Indoneisa saat ini situasi terbalik, dimana kita yang bisa menjalani kehidupan dengan normal terus difasilitasi, pemenuhan dan perbaikan pelayanan publik terus diperbaiki untuk mencapai kemudahan yang lebih hingga memperoleh cara hidup yang lebih praktis lagi. Berkebalikan dengan fasilitas untuk mereka para difabel jangankan pengembangan fasilitas, hingga saat ini di Indonesia fasilitas untuk difabel bahkan belum bisa dikatakan layak. Misalnya saja di Kabupaten Trenggalek beberapa titik guiding block menabrak pohon dan tiang listrik.

“Di indonesia ini,  masih banyak orang normal lebih difasilitasi, padahal mereka 
tidak punya kekurangan apapun, sementara kami disabilitas, yang banyak sekali 
kekurangan, tetapi tidak diperhatikan oleh lingkungan sekitar, apalagi oleh orang 
orang yang masih awam kepada temen-temen disabilitas.” tambahnya.  

Lantas apa yang bisa kita kontribusikan untuk mereka? Tidak perlu menjadi bagian dari pemerintah dulu untuk ikut membenahi, tak perlu menjadi konsultan disabilitas untuk peduli, tak perlu menjadi mahasiswa pendidikan khusus untuk memfasilitasi, juga tak perlu menjadi bagian dari mereka dulu kan untuk mengerti? Fasilitasilah mereka dengan memahami, bahwa perbedaan ‘kita’ dan ‘mereka’ bukanlah sebuah kelemahan. Terbukalah, berbaurlah, tutupi keraguan akan ketidakmampuan mereka dengan percaya pada kemampuan yang ada. Karena kita, mereka, setara! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar